Lily Thamzil(Dimuat di Harian Fajar, Minggu )MALANG nian nasib Nenek Pakande. Dua puluh tahun lalu, ia masih suka memangsa manusia, terutama anak yang hidup di pedalaman Bugis. Hidupnya sejahtera dalam tradisi lisan neneq dan latoq kita. Kini, ia sedang sekarat, berjuang sendiri menghadapi sakratul maut. Taringnya mulai tumpul. Bahkan geriginya mulai ompong.
Jun 5, 2019 - Contoh Tips On Diet Motivation PDF - Berikut ini, kami dari Laporan Akhir Kegiatan Ojl, memiliki informasi terkait. Judul: Contoh Tips On Diet.
Ia tak berdaya menghadapi Saras 008 dan Panji Manusia Milenium. Atau mungkin kalah bersaing dengan Nenek Lampir.Bocah-bocah Bugis Makassar era TV swasta, tidak kenal lagi siapa itu Nenek Pakande. Ia bukan perempuan biasa. Rekaan profil dan karakternya lebih sakti dan hebat dari Mr Black.
Tokoh hitam yang takut mati karena senjata sinar ampuh Saras. Mitosnya, Nenek Pakande itu tidak takut pada siapa pun. Kecuali pada sebangsa tokek yang bernama Pakkeq Canggoling-goling dan Pakkeq Pakkociq-kociq. Reptil yang dikisahkan selalu mengamini kebenaran, menyahuti aksi kemungkaran bernada ejekan saat bunyi tokek-tokek tepat pada hitungan ganjil. Tapi kenapa – kodong– nenek legendaris itu mesti dilupakan dalam tradisi tutur pinutur kita?Loncatan budaya masyarakat Bugis Makassar dari tradisi lisan ke elektronika memang amat spektakuler dan mengejutkan. Anak kecil yang hidup di dusun terpencil di Malino atau Mangkutana pun sudah akrab sekali dengan lakon Saras 008.
Imbas teknologi elektronika sebagai fitur globalisasi nyaris tak apresiatif dan akomodatif lagi dengan sastra tutur masyarakat Bugis-Makassar. Sekat wilayah budaya dan tradisi berbahasa lisan, ibarat tirai sutra yang diterpa badai informasi global.Dalam pandangan evolusi bahasa, tradisi lisan yang harusnya diimprovisasi dulu ke tradisi tulian, kini langsung melejit ke tradisi tonton-pinonton ( audio visual). Akibatnya, bocah bugis Makassar banyak bereksplorasi ke dalam spasi komunitas elit yang cenderung ‘hedonis’ alias –cari enak sendiri.Selanjutnya, mereka kian miskin sentuhan moral dan visi ideologis yang baik di balik tutur pinutur bahasa daerahnya sendiri. Mental kebahasaan mereka mengalami degradasi kosakata. Mendongeng menjadi jasa langka dan mahal. Bercerita yang dulunya mengandung muatan normatif dalam tradisi lisan ‘neneq dan latoq’ kita, hingga hari ini lenyap, entah raib ke rimba budaya mana. Ini tidak sederhana, perlu kajian lacak dan fundamental untuk cari tahu.Memang mata dan pikiran anak-anak kita tidak mesti tertutup untuk mengikuti irama perkembangan global.
Tapi, tradisi lisan bukan sesuatu yang primitif dan tak laik guna. Tradisi lisan merupakan ekspresi budaya daerah yang sarat pesan moral dan daya gugah yang mampu mendekatkan orang tua dengan anak. Bahasa memang bukan sekedar alat komunikasi atau hanya seperangkat bunyi-bunyi linguistik yang teratur seperti kata De Saussure, empunya linguistik.
Lebih dari itu bahasa adalah penanda budaya, cermin moral, dan media peleburan kepekaan sosial dengan realitas.Dulu, anak-anak begitu akrab dengan neneq, latoq, amure, serta indoq dan amboq mereka. Selepas magrib adalah prime timenya folktale Nenek Pakande.
Waktu yang selalu menyisakan pertanyaan “Aga si carita-ta Indoq?” (Apa lagi cerita Ibu?). Jelang tidur, di bawah temaram lampu minyak, anak-anak diantar tidur dengan dongeng-dongeng yang memuat berbagai pesan. Begitu indahnya fantasi kanak-kanak.
Mereka mudah diberi pengertian dan jarang yang keras kepala. Panjat kelapa pun pasti mau.Memang sekitar dekade 1980-an, sandiwara radio pernah mendominasi indra pendengaran masyarakat kita. Itu hanya sesaat. Setelah TV masuk ke bilik rumah panggung, tradisi mendengar beralih menjadi tradisi menonton yang monoton. Entah setelah era TV kabel nanti saat pilihan cartoon channel kian menumpuk.Tren anak sekarang, lebih akrab dengan media elektronika daripada orang tua mereka sendiri.
Siang dan malam hampir tidak dapat lagi dibedakan. Katanya kehidupan kosmopolitan memang seperti itulah. Tak jarang orang tua kelabakan dan putus asa menghadapi loncatan perkembangan bahasa anak-anaknya yang cenderung hilang rasa santunnya. Andaikan orang tua mau menerapkan pola tradisi lisan kepada balitanya dengan bahasa daerahnya sendiri, masalah kedangkalan rasa dalam diksi anak-anak tidak perlu terjadi.Yang masalah, orang tua masa kini sudah banyak yang melupakan cerita dari sastra daerahnya sendiri. Memang sudah ada upaya melestarikan tradisi lisan ke dalam bentuk tulisan.
Pengumpulan naskah memang digalakkan. Tapi, toh masih dalam skala kecil. Itupun dilakukan hanya segelintir pemerhati budaya perennial. Dibanding jumlah tradisi lisan yang pernah ada, upaya mulia itu kalah akselarasi dengan percepatan zaman.Sungguh tidak bijak jika mahasiswa yang menekuni sastra daerah di universitas menganggap lahan mereka ke depan bakal suram.
Jangan takut! Wawasan sebaiknya tidak dipersempit pada terma motivasi instrumental an sich. Hal itu akan di tinggalkan memasuki era pasar bebas dimana SDM adalah king of the king. Memang sebagian masyarakat kini belum menemukan platform jelas tentang keberadaan jurusan sastra daerah. Tetapi, jika para mahasiswanya mampu meniupkan kembali ruh “Neneq Pakande” dalam wacana pendidikan dan pengajaran sastra daerah, baik di pedalaman maupun di pekotaan, synical view (pandangan sinis) masyarakat akan raib.Persoalannya sekarang, maukah kita mengubah image pengajaran model ‘ka-ga-ngam pa’ dengan sentuhan yang lebih kreatif dan realistis untuk improvisasi budaya tutur ketulisan, lalu ke elektronika? Mungkin kita tak bakal capek menunggu para sineas dan kurator drama menghadirkan Neneq Pakande di TV. Minimal sandiwara radio mo kodong jika alasan kurang modal.
Lily Thamzil(Dimuat di Harian Fajar )TUDINGAN yang bombastis kepada pers sebagai perusak bahasa nomor wahid yang terungkap lewat seminar bulan bahasa di Auditorium Amannagappa, sabtu 23 Oktober 1999, (dimuat Fajar, Senin, 25 Oktober 1999), membuat saya merasa gelid an prihatin Alasannya sepele sekali, ragam yang di gunakan dalam bahasa pers tidak mengikuti kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Saya justru beranggapan, sebaliknya, pers bukan perusak bahasa.
Malah memperkaya khasanah ragam bahasa Indonesia.Bahasa bukan struktur atau kaidah semata-mata. Yang lebih penting, bahasa tidak dapat dilepaskan dari aspek social dan budaya suatu masyarakat. Bahasa merupakan institusi manusia yang hidup dan dinamis. Bahasa berkembang sejalan dengan perkembangan budaya suatu masyarakat. Dinamika dalam masyarakat secara resiprokal dapat tercermin dari bahasa yang digunkannya. Tidak salah jika Chaika mangatakan, “ Language is a mirror of a society ” atau bahasa cermin suatu masyarakat.Dalam kenyataan sehari-hari, kebanyakan orang hanya menggunkan bahasa secara pragmatic untuk kepentingan komunikasi sehingga yang digunakan adalah ragam bahasa yang ekstralinguistik.
Dengan demikian, tidak salah jika pers menggunakan ragam bahasa dalam dunianya sendiri yang notabene sudah sangat berterima dalam masyarakat pembacanya. Memang akan keliru jika kaidah berbahasa Indonesia yang baik dan benar akan dijadikan ukuran dalam menilai ragam bahasa tertentu dalam masyarakat, termasuk pers. Kaidah itu sendiri pun sangat relative sifatnya dan tidak sekaku yang kita bayangkan orang. Kaidah bukan harga mati. Mungkin yang banyak di sorot adalah pengguanaan tanda baca dan ejaan yang disempurnakan yang memang secara teknis agak sulit di patuhi oleh Koran. Tetapi, sepanjang tanda baca itu tidak menimbulkan kesalahpahaman dalam proposisi pembaca secara pragmatis, maka itu sah-sah saja.
Lantas, apa bedanya dengan sastra yang juga penggunaan bahasanya menyimpang dari aturan ketatabahasaan? Saya pikir, ini hanya persoalan konvensi.Perlu saya tegaskan bahwa ini bukan semacam eforia kebebasan dalam berbahasa.
Hanya kita perlu memahami bahwa pemilihan bahasa itu harus diamati melalui motivasi social. Dengan kata lain, apa makna pemilihan bahasa yang digunakan oleh institusi tertentu secara sosail seperti pers misalnya, dan dalam konteks budaya yang bagaimana. Saya yakin akan menarik jika itu yang dijadikan tendensi sentral daripada sekadar mengintrupsinya lewat kaidah structural kebahasaan.Marilah kita mencoba melihat sisi lain, pragmatiknya misalnya.
Bukankah suatu fakta juga bahwa ketika istilah sangkil dan mangkus diperkenalkan untuk menggantikan istilah efisien dan efektif, masyarakat enggan untuk menggunakannya sehingga kedua istilah itu kembali beku walaupun sudah dibakukan? Jika publik sudah meneriam secara terbuka ragam bahasa seperti yang digunakan oleh pers, masihkah bermanfaat untuk menggugatnya? Toh, masyarakat jugalah yang pada akhirnya memutuskan untuk menggunakan bahasa itu atau tidak. Andaikan bahasa Koran tidak diterima, praktis Koran sudah lama di tinggalkan pembacanya. Mungkin yang lebih baik yang dilakukan secepatnya adalah mengupayakan legitimasi ragam bahasa pers dalam bentuk konvensi ketimbang memperdebatkannya setiap bulan Oktober.
Bagi saya, mengutuk ragam bahasa pers sebagai wahana perusak bahasa tidak berbeda dengan membunuh upaya kreatif berbahasa dalam pertumbuhan minat baca masyarakat.Dari hasil penelitian, ditemukan bahwa ternyata masyarakat kita bukan tidak gemar membaca, melainkan belum menemukan bacaan yang benar-benar cocok dengan selera dan daya jangkau bacanya. Artinya, belum tersedia bahan-bahan bacaan yang sesuai dengan keasyikan mereka. Kalaupun ada, bahasanya terlalu sulit dimengerti.Salah satu sebab larisnya Koran adalah karena bahasanya keluar dari kaidah bahasa baku yang dapat ditafsirkan sebagai antithesis dominasi ahli bahasa; ringan, sederhana dan lugas.
Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa bahasa yang tidak baku cenderung digemari oleh masyarakat umum. Mereka tidak mau menambah beban baru dari bacaan yang membutuhkan pemikiran ekstra untuk memahami bahasanya saja. Mereka suka dengan bacaan-bacaan yang menantang daya pikir di satu sisi. Tetapi, yang diinginkan adalah tantangan berpikir dari konten atau muatan bacaan dengan tetap menggunakan bahasa yang lugas.Koran bukan textbook.
Yang dibutuhkan dari Koran hanyalah informasi-informasi actual yang segi sintaktika kebahasaan. Koran milik public bukan dominasi masyarakat ilmiah. Menggunakan bahasa baku untuk Koran akan membatasi sasaran pembacanya hanya pada beberapa persen masyarakat ilmiah.Dengan begitu, saya malah khawatir Koran akan ditinggalkan oleh publiknya.
Kecuali jika suatu masyarakat sudah menyenangi bahasa baku, maka ceritanya lain.Jika Harian Fajar mampu menyuguhkan bacaan yang sesuai dengan selera dan tingkat pemahaman bacaannya dengan bahasanya yang khas, apa al;asan kita untuk tidak mendukungnya secara moral? Namun, pada akhirnya pihak pers sendirilah yang harus mmemilih kepentingan yang hendak dikedepankan. Viva ragam pers! Lily Thamzil(Dimuat di Harian Fajar, Minggu 14 Mei 2000)ISENG-iseng penulis lakukan survey ringan. Empat puluh siswa SLTP saya minta mengamati coretan yang tertera di tiap tempat pembuangan sampah ‘liar’ di sekitar rumah mereka. Keesokan harinya, betapa gumumnya ketika sebagian besar tulisan yang dilaporkan senada.Kasar. Itulah kesan pertama yang tampak saat membaca ‘duplikat’ papan peringatan yang ditancapkan agak miring di tengah kubangan sampah di sebuah kompleks permukiman di Timur Kota.
Untunglah, lokasinya cukup jauh dari tugu Adipura Makassar. Jadi, yang dari bandara agak sulit melihat kontrasnya tugu Adipura dan sampah yang berserakan di lokasi itu. Kalimatnya begini, “Yang buang sampah di sini, anjing!!!”Mengapa harus anjing?
Mengapa bukan macan atau ayam, misalnya. Di Amerika, pengecut diistilahkan chicken (ayam) sebab ayam pada umumnya suka lari jika didekati. Misalnya, anjing tidak pernah buang sampah. Jadi, ditimbang-timbang, rasanya kita tidak adil terhadap anjing.Dalam repertoar anjing, memang tak ada kata anjing. Malahan, anjing sering menyeret sesuatu dari kubangan sampah yang ada papan bertuliskan namanya ke tempat lain yang relative aman.
Tapi, yang bukan anjing malah senang membuang sampahnya ditempat itu. Barangkali mereka merasa bukan anjing, jadi menurutnya tidak apa-apa buang sampah ditempat itu.
Bukankah yang tertulis di papan itu untuk anjing? Mungkin seperti itu jalan pikiran sederhana uuuu memahami sebuah kalimat. Secara semantik atau makna to-lise’-nya, yah dapat dibenarkan. Jika demikian, yang keliru yang memasang papan peringatan seperti itu sebab anjing tidak pernah buang sampah.Di kawasan lain tak jauh dari situ, ada juga tulisan nakal “Jangan buang sampah di sini telaso!!!” Yang telaso itu kan makian untuk pria. Apakah yang buang sampah di tempat itu hanya pria semata? Lalu muncul sebuah Tanya, bagaimana kalau yang buang sampah seorang wanita? Itu sudah melanggar HAM-nya pria.
Tidak adillah!Lagi lain yang tertulis di beberapa pokok jalan tempat mangkalnya daeng becak dekat tiang listrik samping toko warga Tionghoa, tepat di atas got kecil. Kalau yang satu ini mungkin lebih sesuai. Di situ tertulis “Dilarang kencing di sini telaso!!!” kalau yang ini jelas peruntukannya pria. Wanita mana ada yang pintar kencing di situ.
Silakan saja dites baunya! Boleh jadi, tulisan itu cocok untuk anjing jantan yang sering iseng mengangkat sebelah kaki belakangnya kalau lagi kebelet.Apakah makian dan umpatan model papan peringatan itu hanya untuk kaum pria?
Mungkinkah itu sebuah indikasi bahwa hanya pria yang (maaf) ‘jorok’ dan cuek dengan aturan persampahan dan pembuanghajatan? Butuh penelitian lacak dan akurat untuk itu.Mengenai tulisan di tempat sampah, kita bahkan tidak pernah tahu siapa yang menulis ungkapan seperti itu kecuali penulisnya sendiri. Namun, siapa yang menulisnya mungkin tidak begitu penting. Yang jelas, itulah ungkapan makian sebuah komunitas dalam memahami sebuah realitas.Yang menarik, fenomena ungkapan tulis versi ‘papan sampah’ tampaknya bervariasi per kawasan. Akan tergambar korelasi yang positif strata sosial per kawasan dengan model ungkapan tulis mereka.
Penulis: Lily ThamzilAbstrakArtikel ini membahas teori pembelajaran berdasarkan pemahaman penulis yang terangkum dari topik perkembangan siswa ulasan Woolfolk (2010:2-195). Topik yang diuraikan meliputi tema perkembangan kognitif dan bahasa; perkembangan diri, sosial, dan moral; dan perbedaan individu dan kebutuhan belajar.
Ide-ide yang dianggap penting dalam setiap uraian tema dihubungkan dengan isu-isu praktek pembelajaran di kelas di era kekinian sebagai model implikasi praktis dari teori-teori psikologi pendidikan.Kata kunci: Perkembangan kognitif, bahasa, fisik, emosi, sosial, moral, perbedaan individu, dan kebutuhan belajarPENDAHULUANSeperti apa gambaran guru yang efektif? Apakah mereka yang berhasil menanamkan pengetahuan kepada siswa untuk digunakan di luar kelas? Apakah mereka yang berhasil memotivasi siswa mewujudkan keinginan mereka di dalam maupun di luar kelas? Ataukah mereka yang memiliki pemahaman tentang perkembangan siswa dalam segala aspeknya untuk kemudian melakukan penyesuaian di dalam dan di luar kelas?
Semua guru yang memiliki pengalaman mengajar diasumsikan telah memiliki rangkaian pemahaman tentang pergeseran praktek pengajaran yang harus dilakukan secara sinkronis di dalam kelasnya masing-masing. Bagi penulis sendiri, guru yang baik adalah guru yang peduli dan tanggap terhadap kebutuhan belajar setiap siswa di kelasnya.Pengalaman sebagai siswa di era 70-an dan sebagai tenaga pengajar produk 90-an tentu saja tidak cukup untuk dijadikan sebagai basis model dalam pengajaran di era 2000-an. Percepatan revolusi pembelajaran yang diupayakan sejalan dengan perkembangan teknologi informasi abad XXI menyisakan kompleksitas permasalahan terutama bagi guru sebagai stakeholder utama dalam jejaring pendidikan. Guru dituntut untuk terus mengkaji dan menggali berbagai sumber belajar terutama yang berkenaan dengan aspek perkembangan model belajar siswa yang berbeda di setiap jamannya.Mengapa pembahasan psikologi pendidikan yang diulas oleh Woolfolk (2010) dimulai dengan topik besar tentang entitas siswa? Dalam pandangan penulis, pada dasarnya memang sangat logis jika sistematika pembahasan apapun tentang pengajaran dimulai dengan merangkai argumen tentang siswa. Dalam proses pengajaran, siswa merupakan subyek yang belajar dan implementer sejati dalam perencanaan pengajaran.
Kegagalan dalam memahami aspek ini akan berujung pada kesia-siaan model desain yang telah menguras waktu dan pemikiran dalam perencanaan dan implementasinya.TINJAUAN TEORETI SSebagai langkah awal, artikel ini difokuskan pada pembahasan pemahaman tentang entitas siswa sebagai subyek dan implementer utama dalam pembelajaran. Judul Asli: Three Children with Emotional and Behavioral Disorders Tell Why People Do Right (Elizabeth L. Hardman, University of Florida)Reviewer: Lily ThamzilPENDAHULUANRingkasan laporan hasil studi kasus Elizabeth L. Hardman (University of Florida) dalam International Journal of Special Education tahun 2011 termasuk dalam kajian psikologi pendidikan yang terkait dengan anak yang berkebutuhan khusus atau kategori pendidikan inklusif.
Dalam bahasannya, penelitian diarahkan pada psikologi kognitif sosial yang mengacu pada tahapan perkembangan kognitif dalam memahami nilai-nilai moral.Secara umum, Hardman dalam tulisannya berupaya mengungkap kejelasan tahapan usia perkembangan seorang anak mampu memilah perilaku baik dan buruk atau benar dan salah yang diterima dari lingkungannya seperti yang dicontohkan oleh Piaget dan para peneliti psikologi kepribadian lainnya. Hardman kemudian mengarahkan alur penelitiannya terhadap perkembangan nilai kerjasama pada anak-anak atau siswa yang mengalami gangguan emosi dan perilaku atau Emotional and Behavioral Disorder (EBD) berdasarkan pola pertimbangan mereka yang menurutnya belum banyak dikaji oleh peneliti lain sebelumnya.Hasil penelitian Hardman tentang tahap perkembangan pemahaman nilai moral dengan kekhususan pada anak EBD secara umum belum dapat digeneralisasi seperti yang diakuinya pada pembahasan keterbatasan penelitian. Penelitian masih terbatas pada kasus siswa SD secara longitudinal dengan konteks Florida yang mungkin akan berbeda dengan kasus-kasus anak EBD di negara lain. Meskipun demikian, hasil penelitian ini secara umum sangat menarik ditindaklanjuti terutama pada temuannya tentang konflik nilai yang terjadi pada ke tiga anak EBD ketika ‘dituntut’ mengambil keputusan tentang nilai moral dalam kasus-kasus dilematis. Selain itu, kemapanan Hardman dalam mengolah data kualitatif terlihat sangat analitik dan detail terutama kemampuannya menangkap fenomena dan memilahnya menjadi kategori nilai moral.RINGKASANLatar BelakangDi bagian awal tulisannya, Hardman menampilkan abstraksi dari hasil penelitiannya yang dilanjutkan dengan deskripsi latar belakang masalah yang bersumber dari beberapa penelitian. Di dalamnya terungkap mengenai pengertian ‘melakukan kebaikan’ ( do right) yang berasal dari nilai-nilai yang dibangun oleh masyarakat dan secara otomatis terinternalisasi oleh anak dari keluarganya.
Selain itu, Hardman juga memperhatikan saran Piaget untuk meneliti nilai moral dari sudut pandang anak terhadap perilaku mereka sendiri. Alasan mengirim anak/siswa ke sekolah khusus yang dirancang untuk mengatasi masalah perilaku anak-anak EBD yang kerap menyulitkan di kelas dan menyebabkan mereka kurang disenangi oleh sebayanya, juga sarat informasi yang memungkinkan untuk diteliti. Menurutnya, banyak penelitian yang telah dilakukan untuk memahami karakteristik anak-anak EBD tapi sangat kurang kajian penilaian moral anak-anak EBD yang mendeskripsikan perbedaan penilaian di kalangan mereka terutama yang terkait dengan perkembangan orientasi moral kerjasama.Perkembangan Penilaian MoralPengertian nilai moral yang digunakan oleh Hardman dikutip dari Dewey sebagai upaya serius yang dilakukan untuk menemukan hubungan antara tindakan dan konsekuensinya.
Asumsi bahwa realitas moral juga dibangun dengan cara yang sama, Hardman mencontohkan hasil penelitian Piaget tentang perkembangan penilaian moral dengan mengeksplorasi pengaruh pengalaman dan pemikiran terhadap persepsi anak yang memperlihatkan hubungan tindakan dan konsekuensinya. Hasilnya menunjukkan bahwa penerapan aturan berkembang dalam 4 tahapan, yaitu sensorimotor, ego s entri k, kerjasama, dan kodifikasi; namun kesadaran tanggungjawab berkembang dalam 3 tahapan, yaitu non-moral, heteronom i, and oto nom i. Meskipun perkembangan tersebut berbeda antaranak, namun secara umum diakuinya bahwa urut-urutannya relatif seragam dan universal.
Pembahasan ini berlanjut dengan pemaparan hasil-hasil penelitian serupa dari berbagai negara untuk menunjukkan universalitas temuan.Penelitian LanjutanPenelitian tentang tahap perkembangan penilaian moral dilakukan secara berkelanjutan dalam berbagai konteks dan sudut pandang. Dari penelitian-penelitian tersebut, Hardman menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan persepsi di kalangan peneliti tentang tahapan perkembangan penilaian moral, namun ditemukan beberapa variabel yang dapat menghambat perkembangan penilaian moral anak seperti emosi negatif, status ekonomi, ketidakmatangan keterampilan sosial, dan perilaku antisosial. Yang menarik karena keseluruhan variabel tersebut juga terkait dengan perkembangan anak-anak EBD. Inilah yang kemudian menjadi titik tolak Hardman dalam melakukan penelitian dengan berasumsi bahwa masa kanak-kanak mewakili periode kritis perkembangan penilaian moral serta intervensi perkembangan perilaku antisosial dengan fokus utama pada perkembangan orientasi moral kerjasama selama masa itu.Metode PenelitianPenelitian ini bertujuan mendeskripsikan orientasi moral dan mengeksplorasi pola pertimbangan mereka terhadap nilai kerjasama sebagai bagian dari nilai sosial. Penelitian dilakukan dengan studi kasus yang menggunakan teknik wawancara dilema moral yang melibatkan 3 anak EBDatau yang mengalami masalah kontrolemosi dan perilaku di salah satuSD di Florida, Amerika; kelas 3, 4, dan 5; 2 laki-laki dan 1 perempuan, dan beberapa karakteristik lain yang juga dijelaskan secara panjang lebar dalam tulisan Hardman. Data dikumpulkan menggunakan pedoman wawancara disertai dengan skenario (model tanya jawab antara peneliti dan subyek) yang menyajikan 12 kisah yang mengandung dilema moral hipotetik (garis antara yang benar dan yang salah sengaja dibuat kabur), dipilih dari berbagai sumber yang sangat populer di kalangan anak-anak Amerika, dan beberapa pertimbangan lainnya.
Wawancara berlangsung ±30 menit per anak dan di akhir wawancara, ketiganya dihadiahi buku cerita Boxcar Children. Wawancara direkam dan ditranskripsi lalu dikoding yang menghasilkan 130 lembar data. Kode-kode yang digunakan berupa singkatan-singkatan dengan kategori tertentu yang diisi berdasarkan respons verbal anak.
Validitas dan reliabilitas temuan dilakukan dengan cara-cara yang khas dalam penelitian kualitatif.Hasil PenelitianAnalis data secara umum menunjukkan bahwa anak-anak memahami elemen dasar plot, karakter, dan latar yang disajikan di setiap cerita sebelum mereka diminta mengemukakan isu-isu moral yang dikandungnya. Henry agak kesulitan mengingat nama tokoh dalam cerita pada 3 cerita dilema Piaget di kesempatan pertama tapi setelah diulangi, Henry berhasil mengingatnya kembali. Setelah 9 kali wawancara, hasil menunjukkan bahwa informan memilih 36 pilihan isu dari 12 dilema yang terurai menjadi 375 jenis penilaian moral, baik berupa norma maupun elemen moral.Pilihan IssuJessie dan Henry cenderung cepat mengambil keputusan, konsisten, dan memilih isu yang heteronim dari sumber figur otoritatif seperti ayah, hukum, dan hukuman. Violet cenderung banyak pertimbangan solusi dalam mengambil keputusan sebelum kembali ke pilihan awal lalu mengkonfirmasi pilihannya, dan memilih isu yang mengarah pada solidaritas. Beberapa contoh disajikan untuk menguatkan hal itu dan ringkasannya disajikan dalam bentuk tabel.Penilaian MoralDalam hal penilaian moral, ketiga anak EBD menunjukkan kecenderungan memilih nilai yang berasal dari norma otoritas, hukuman, dan hukum yang mendukung pilihan isu mereka.
Meskipun demikian, terdapat beberapa temuan yang menunjukkan inkonsistensi mereka terhadap pilihannya ketika diperhadapkan dengan konflik nilai dari kisah dilematis yang diceritakan. Data lengkapnya disajikan dalam bentuk tabel dan secara umum, Hardman menemukan bahwa mereka menitikberatkan pentingnya hukuman sebagai kontrol perilaku dengan alasan bahwa hukumanlah yang memberi batasan benar salahnya tindakan dan berpengaruh terhadap kepatuhan. Ketiganya berkeyakinan bahwa menghindari hukuman akan menjerumuskan orang melakukan tindakan yang tidak pantas.Nilai-Nilai pada Anak dan Perkembangan KerjasamaPerkembangan orientasi moral yang ditemukan Hardman pada ketiga anak EBD tercermin dari pemahaman tentang aturan yang telah disepakati.Struktur kognitif yang mendukung perkembangan kerjasama umumnya muncul di usia 5 tahun dan mencapai puncak perkembangannya menjelang usia 9 atau 10 tahun kecuali pada kasus anak-anak yang berstatus ekonomi lemah atau menunjukkan perilaku antisosial yang serius.
Berbagai penelitian menemukan bahwa perkembangan kerjasama akan beragam dan dalam kasus-kasus tertentu tidak berkembang sama sekali dengan asumsi bahwa apa saja yang menghalangi peluang anak belajar berpartisipasi dalam masyarakat akan memperlambat perkembangan kerjasama mereka dan bahkan menghambat munculnya perilaku otonomi di masa remajanya. Anak-anak EBD dalam penelitian ini berusia antara 9 s.d. 12 tahun dengan karakteristik tertentu. Hasil wawancara menunjukkan bahwa 90% dari 375 penilaian mengacu pada aturan normatif dan hanya 10% sisanya mengacu pada kerjasama.
Henry dan Jessie dalam kasus ini cenderung patuh karena menghindari hukuman dan Violet konsisten dengan orientasi solidaritas dan pujian.Anak-anak tidak selalu menilai berdasarkan aturan normatif atau orientasi moral egosentris. Fakta menunjukkan bahwa 10% penilaian mereka lebih mengarah pada orientasi kerjasama dan konsep pertemanan atau solidaritas merupakan pilihan nilai mereka. Benar atau salah, orang akan menanggung beban dan menikmati keuntungan secara bersama-sama.
Dalam hal ini, Hardman mengutip beberapa pandangan ahli dan salah satunya adalah pandangan Piaget (1932/1965) yang mengidentifikasi solidaritas sebagai fenomena kognitif yang penting dalam perkembangan moral kemandirian dengan syarat memahami aturan dalam kesepakatan. Perilaku anak pada dasarnya sulit ditebak meskipun mereka tahu benar dan salah atau mampu menerapkan aturan perilaku sosial yang pantas. Hal ini menurutnya tidak antas membenarkan bahwa perilaku dan penilaian tidak berkaitan tetapi hanya menjelaskan bahwa hubungan ini dimediasi oleh konteks sosial itu sendiri (dikutip oleh Hardman dari Damon, 1988).Keterbatasan PenelitianHardman secara jujur mengakui keterbatasan penelitiannya dalam hal generalisasi terhadap populasi mengingat sifatnya yang kasuistik dan hasil yang diperoleh hanya melalui 12 kasus dilematis yang belum tentu sama hasilnya ketika diperhadapkan dengan dilema yang berbeda.
![Matematika Matematika](/uploads/1/2/5/4/125460229/293284530.jpg)
Selain itu, apa yang dikemukakan oleh ketiga anak EBD dalam penelitian ini tidak menjamin bahwa seperti itulah perilaku pereka ketika diperhadapkan dengan situasi sebenarnya. Dengan kata lain, sikap, tidak otomatis mewakili perilaku.Penelitian studi kasus juga dibatasi dalam hal penentuan sebab akibat tetapi hasil penelitian ini menyarankan bahwa menganalisis hubungan misterius antara perilaku dan penilaian mungkin lebih rumit daripada penerapan metode penelitian. Hardman mengillustrasikannya dengan cerita orang buta dalam mengidentifikasi obyek.Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa pemahaman hubungan antara perilaku dan penilaian tidak mungkin terlaksana tanpa terlebih dahulu menerima tantangan dalam memadukan kedua pandangan yang berbeda dalam perkembangan anak. Di satu sisi, fokus pada perubahan perilaku dan di sisi lain berfokus pada transformasi kognitif. Penelitian ini menurutnya hanya langkah awal untuk memahami nilai moral dari perspektif anak EBD. Jika dilanjutkan, masyarakat diharapkan mampu memahami hubungan antara penilaian dan perilaku pada anak-anak EBD untuk kemudian mengkaji ulang perlu tidaknya pendirian sekolah khusus bagi mereka sehingga setiap anak memiliki peluang yang sama untuk produktif dan dihargai oleh yang lain.KRITIKDari rangkuman hasil penelitian Hardman di atas, terdapat beberapa kelebihan dan kelemahan dari segi konten dan organisasi penulisan. Temuan dan upaya hardman meneliti anak-anak EBD ini menarik dan layak untuk dijadikan sebagai pola bagi penelitian serupa dalam konteks yang berbeda, baik dari sisi tahapan perkembangan moral anak, maupun sikap mereka dalam menentukan pilihan penilaian moral.
Implikasi yang dihasilkan dari penelitian juga sangat bermanfaat bagi pengambil kebijakan di negaranya untuk melakukan kajian kritis tentang aturan menyekolahkan anak EBD secara terpisah dari sekolah umum. Saran UNESCO tentang pendidikan inklusif (Unesco, Salamanca Framework for Action, 1994) bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus, termasuk anak EBD, perlu disikapi dengan tindakan nyata sehingga semua anak memperoleh kesetaraan hak-hak pendidikan mereka. Keunggulan lain yang juga sangat jelas terlihat dalam penelitian ini adalah keakuratan dan kerincian skenario pelaksanaan wawancara yang dilakukan Hardman serta uraian tentang keterbatasan penelitiannya.Kelemahan tulisan ini dan cenderung mendasar terletak pada ketidakmampuan (jika terlalu prematur untuk mengatakan kegagalan) Hardman menemukan teori alas yang khusus mengkaji tentang nilai kerjasama sebagai vocal point dari penelitiannya. Hardman lebih banyak dan secara panjang lebar mengurai tentang tahapan perkembangan penilaian moral anak secara umum dari berbagai perspektif hasil penelitian sebelumnya. Kajian hasil-hasil penelitian dibahas dalam 3 porsi besar, yaitu pada latar belakang, penelitian lanjutan, dan penelitian sebelumnya.Dalam perspektif masalah yang berasal dari upaya pembuktian teori, latar belakang pada dasarnya dibenarkan mengungkap berbagai temuan namun tidak lantas mengkerdilkan masalah utamanya. Hardman mencoba meneliti perspektif nilai moral anak EBD yang diklaim kurang mendapat perhatian dalam penelitian, tetapi kurang proporsional dalam menjelaskan jenis perlakuan yang diterima oleh anak EBD dari sekolah dan masyarakat sebagai sanksi sosial serta efek bagi perkembangan psikologis mereka, terutama yang langsung bersentuhan dengan orientasi nilai kerjasama sebagai fokus. Hardman hanya mengungkap sedikit latar belakang subyek pada pembahasan metode untuk menjelaskan konteks penelitiannya.Pada pembahasan hasil, Hardman lebih banyak mengeksplorasi pandangan ahli untuk disesuaikan dengan temuannya daripada mendetailkan temuannya sendiri.
Termasuk di antaranya temuan utamanya yang langsung menjawab pertanyaan penelitian, kurang mendapat penjelasan serinci ulasannya tentang pandangan ahli. Padahal, satu hal yang paling dinantikan pembaca dari penelitian kualitatif adalah deskripsi temuan teori atau hipotesis sebagai hasil akhir dari penelitian, termasuk studi kasus.Kedua, dari segi organisasi penulisan pada jurnal, proporsi metode penelitian hampir sama (untuk tidak mengatakan sama) dengan proporsi hasil.
Kuat dugaan bahwa Hardman berniat menunjukkan kekuatan penelitiannya dari sisi metodologi terutama ketajaman informasi mengenai model koding yang digunakan serta skenario wawancara atau ada alasan lain. Bahkan, pada metode, hardman masih menjelaskan pandangan ahli tentang alasan penggunaan metode yang dalam batasan tertentu dapat dianggap ‘menggurui’ pembaca. Padahal mestinya dipahami sejak awal bahwa yang banyak membaca jurnal penelitian psikologi adalah orang-orang yang tentunya paham dengan konsep penelitian. Di samping itu, beberapa istilah teknis kurang mendapat perhatian untuk dijelaskan secara operasional sehingga pemilihan kata dan voice –nya terkesan kurang dialogis dengan pembaca terutama pembaca yang menggunakan bahasa Inggris bukan sebagai bahasa sehari-hari.SIMPULANSecara umum, tulisan ini aset dalam bidang psikologi perkembangan kepribadian dan psikologi kognitif sosial terutama yang terkait dengan anak-anak EBD.
Selain sebagai sumber informasi, tulisan ini juga dapat dijadikan sebagai contoh dalam penelitian longitudinal (berkelanjutan) dalam tahapan perkembangan moral dan kognitif sosial baik untuk anak yang tidak bermasalah, maupun untuk anak-anak EBD. Beberapa kelemahan dalam tulisan ini tidak otomatis mengurangi nilai positif atau manfaat yang terdapat dalam kajian Hardman.Referensi:Hardman, E.L. “Three Children with Emotional and Behavioral Disorders Tell Why People Do Right”, International Journal o f Special Education, Vol 27(1), 2011. Diunduh pada tanggal 15 Maret 2012 dariUnesco. The SalamancaStatement a ndFramework f or Action o n Special Needs Education, World Conference o n Special Needs Education:Access a nd Quality. Salamanca, Spain, 7-10 June 1994.LampiranTHREE CHILDREN WITH EMOTIONAL AND BEHAVIORAL DISORDERS TELL WHY PEOPLE DO RIGHTElizabeth L. HardmanUniversity of FloridaThis paper presents the results of a small preliminary investigation of the moral judgment of three children with emotional and behavioral disorders (EBD) using case study research methodology to describe their moral orientations and explore how their reasoning patterns might affect the development of a cooperative moral orientation.
Data were gathered using a moral dilemma interview protocol developed specifically for the study. Results showed that all three of the children valued punishment because it defines right from wrong and coerces obedience, but they also reasoned that avoiding punishment can sometimes motivate people to do that which they know they should not. The implications of the results are discussed with respect to the overuse of punishment, the placement of children with EBD in highly restrictive special education settings, and the potential social cognitive benefits of using positive behavioral supports to include students with EBD in the classroom community.Three Children with Emotional and Behavioral Disorders Tell Why People Do RightAlmost everyone knows the “do right” rule.
This familiar rule represents a convenient shortcut to what is actually a long list of behaviors that are obligated by community building values such as civility, cooperation, care, trust, and respect for the rights of others (c.f. Kauffman, Lloyd, Baker, & Riedel, 1995; Nucci, 2001; Walker, Ramsey, & Gresham, 2004). Community building values such as these appear to form during childhood and are assumed to lay the foundation upon which social competence is built, although it is not clear exactly how (e.g., Damon, 1988; Eisenberg & Fabes, 1998). Piaget (1932/1965) advised researchers to move beyond merely observing how precisely children comply with rules and examine instead their moral judgment, how they judge the good and evil in the performance of their own actions. Piaget also acknowledged that “Difficult children, whom parents and teachers send or ought to send up for psycho-therapeutic treatment, supply the richest material for analysis.” (p.12)In today’s schools, emotional and behavioral disorders (EBD) is the special education designation given to students who are referred for services because they exhibit antisocial behavior, distorted cognition, and/or disordered emotion to a marked degree (Kauffman & Landrum, 2009; Rutherford, Quinn, & Mathur, 2004). The behavioral manifestations of EBD occur along two dimensions, externalized or aggressive, acting out behaviors and internalized or withdrawal. Children may display either or both of these dimensions but externalized behaviors characterize the most prevalent types of EBD and cause the most concern in classrooms (Langdon, 1997).
In fact, teachers view students who exhibit aggressive, acting out behaviors as the most difficult to teach and report that they are least liked by their peers (Kauffman & Wong, 1991). The behavioral characteristics of these students has received much attention from the research community (Rutherford et al.) while only a few have examined the moral judgment of children with EBD to describe how their judgment differs from that of typical peers, focusing specifically on the development of a cooperative moral orientation (Hardman, 2002).The Development of Moral JudgmentJudgment is a term used to describe an intentional endeavor to discover the connections between what one does and its consequence (Dewey, 1916/1944). Assuming that moral realities are constructed in the same way, Piaget (1932/1965) conducted the seminal study of the development of moral judgment in childhood by exploring how children’s past experiences and thinking affected present perceptions of the way in which their actions and their consequences are related. Piaget’s subjects were infants to 12-year olds living in Geneva and Neuchatel, Switzerland.
He initiated his research by first observing children of various ages as they played games and questioning them about the fairness of various deviations from the rules as they played. He then tested the explanatory power of the reasoning patterns he discovered by presenting children ages three through thirteen with moral dilemmas about clumsiness, stealing, and lying; retributive versus distributive punishment; collective and/or communicable responsibility; immanent justice; equality and authority; and justice among children.
The results showed that the practice of rules develops in four stages; sensorimotor, egocentric, cooperation, and codification; but that the consciousness of obligation develops in three; non-moral, heteronomy, and autonomy. Although Piaget found that the age of onset for each stage varied somewhat from child to child, he described the stage sequence itself as invariant and universal.The first stage in the practice of rules is defined as sensorimotor, a time in infancy when children manipulate the accoutrements of games for the purpose of sensory stimulation alone (Piaget, 1932/1965). Infants are not aware of moral obligation and are non-moral with respect to obligation. Egocentrism develops at about age two or three as children become aware of rules but practice them only to suit their own purposes. They are heteronymous with respect to obligation, believing that rules are imposed by all powerful external authorities who must be obeyed to avoid certain punishment. Children continue to be externally focused with respect to obligation as the cooperation stage and perspective taking emerge at about age five or six (Siegler, 1998).
With perspective taking, children gain insight into others’ thoughts and desires and are able to understand that others may have legitimate interests and desires that are different from their own. Without it, they continue to look to external authorities for moral direction and must rely almost entirely on salient clues like reward, punishment, and the severity of damage done to determine obligation (Siegler, 1998). Egocentrism and heteronomy both seem to serve an important protective function during early childhood but may increase the risk for antisocial behavior when they continue into adolescence because. While moral realism renders them dependent upon external authorities for moral direction, egocentrism allows rule-oriented behavior only when it suits selfish needs but at a time when size and level of freedom enjoin cooperation and moral autonomy (Gibbs, 1995). Piaget found that it is through experiences of cooperation in respectful society with others that children transition into the codification stage at about age twelve at which time they are able to realize that laws and rules are mutually agreed upon social constructions that allow society to function fairly and harmoniously.In 1987, Colby and Kohlberg defined moral judgments as imperatives derived from some rule or principle that the speaker believes is binding on one’s actions. Moral judgments are (a) judgments of value, not fact; (b) social judgments involving people; (c) prescriptive or normative judgments, and (d) value judgments about rights and responsibilities as opposed to liking and preference. They also refined Piaget’s theory (1932/1965), identifying six moral orientations grouped into three levels: (a) the pre-conventional level which is egocentric in intent and includes the punishment-obedience and personal reward orientations; (b) the conventional level which is cooperative in intent and includes the good boy/nice girl and law and order orientations; and (c) the principled or post-conventional level which includes the social contract and universal ethical principle orientations.
Their research with children showed that by age nine, conventional level reasoning characterized most of their reasoning but with a few exceptions. For example, juvenile delinquents, adult criminals, and individuals with low SES tend to judge from an egocentric orientation and develop cooperation at a slower rate and sometimes not at all, an effect attributed to the limited opportunities these individuals have to participate in society and its institutions (Colby, Kohlberg, Gibbs, & Lieberman, 1987).Similar to Piaget (1932/1965), Colby and Kohlberg (1987a) presented their stage sequence as universal and invariant.
One cannot simply internalize higher stage reasoning but can only move forward in the next logical step of cognitive reorganization. To provide support for claims of universality, Colby, Kohlberg, and Nisan (1987) studied the development of moral judgment in Turkish males and found that their patterns of reasoning fit the stage structures and sequence described but only with respect to the first four stages. (Persepsi Siswa SMA tentang Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kegagalan dalam Belajar IPA di Portugis)Reviewer: Lily ThamzilPENDAHULUANRingkasan laporan hasil penelitian Fonseca dan Conboy (2006) yang dimuat dalam Jurnal Eurasia untuk Pendidikan Matematika, Sains dan Teknologi berjudul Secondary Student Perceptions of Factors Effecting Failure in Science in Portugal (Persepsi Siswa SMA tentang faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kegagalan dalam Belajar IPA di Portugis) merupakan hasil survei persepsi 346 siswa kelas X jurusan IPA dari 8 sekolah di selatan Portugis. Hasil analisis tentang faktor utama penyebab kegagalan kelas X dalam belajar IPA menurut persepsi siswa mengarah kepada rendahnya mutu pengajaran dan kurangnya persiapan di SMP sebelum masuk SMA.
Selain itu, sepertiga bagian siswa menganggap bahwa pelajaran IPA di SMA bukan bekal masa depan yang akan mengantisipasi kebutuhan masyarakat terhadap IPTEK. Ekspektasi yang tinggi terhadap pencapaian hasil belajar sangat penting dibudayakan di kalangan guru, orangtua, dan administrator karena kunci keberhasilan akademik siswa juga bergantung pada faktor tersebut.Secara umum, hasil penelitian Fonseca dan Conboy mampu mengekspos beberapa faktor yang menyebabkan tingginya tingkat kegagalan pembelajaran sains di kelas X SMA di negaranya. Hasil tersebut sangat bermanfaat sebagai rekomendasi bagi pihak sekolah dan dan para pengambil kebijakan khususnya dalam bidang IPA untuk mengatasi masalah rendahnya prestasi IPA berbasis persepsi siswa, terutama yang terkait dengan mutu pengajaran dengan stakeholder utama guru. Selain itu, kecenderungan siswa menyalahkan rendahnya persiapan (sekaligus ditafsirkan sebagai mutu pengajaran) di SMP pada bidang IPA. Artinya, di mata siswa, guru menjadi sorotan utama penyebab kegagalan belajar IPA.Peneliti pada dasarnya telah mengemukakan alasan bahwa untuk rendahnya persiapan di SMP pada bidang IPA diasumsikan karena faktor pernyataan guru yang berlebihan tentang hal ini kepada siswa sehingga siswa juga menjadikannya sebagai alasan pembenaran dari ketidakmampuan atau kegagalan mereka.
Faktor lainnya dinyatakan sebagai faktor pendukung, termasuk di dalamnya keterlibatan orangtua dalam kontrol kegiatan belajar anak di rumah masing-masing. Memang benar bahwa prestasi siswa dalam bidang IPA tidak hanya ditentukan di sekolah, tetapi juga dipengaruhi oleh partisipasi orangtua, semua pihak yang terkait, serta kondisi fisik, lingkungan, dan faktor-faktor internal siswa dalam proses belajar. Hal ini sangat layak dijadikan prediktor kegagalan karena proses pendidikan memang melibatkan beragam komponen dalam pendekatan sistem untuk mencapai tujuan.Karena penelitian ini dalam paradigma kuantitatif, maka terdapat beberapa kelemahan, terutama pada aspek kontrol validitas temuan yang mungkin belum dikonfirmasi atau diverifikasi dengan guru yang terkait di sekolah masing-masing. Untuk kontrol validitas dan reliabilitas instrumen, memang sudah sangat layak untuk digunakan dalam survei atau jajak pendapat siswa mengingat nilai reliabilitas instrumen yang cukup signifikan. Namun, gambaran tentang persepsi siswa yang pada dasarnya merupakan pengakuan verbal dalam bentuk tulisan dapat dianggap sebagai respon kualitatif dari refleksi sikap siswa. Jika ingin lebih fair, pernyataan sikap belum tentu menggambarkan kondisi yang sebenarnya. Diperlukan verifikasi kebenaran pernyataan mereka melalui pengamatan lapangan yang dapat ditempuh dengan jenis penelitian kualitatif.Meskipun penelitian ini dilakukan bukan untuk mencari kambinghitam, hasil penelitian ini juga mestinya diimbangi dengan penelitian sejenis yang pengumpulan datanya diarahkan kepada guru, di samping para laboran yang membimbing mereka dalam praktikum IPA.
Alasannya, guru dan laboran juga merupakan pihak yang paling mengetahui kondisi obyektif siswa dalam kegiatan pembelajaran serta faktor-faktor penyebab kegagalan belajar siswa. Selain itu, upaya yang sama juga sebaiknya diarahkan kepada orangtua yang sangat paham perkembangan, kelebihan, dan kelemahan anak mereka terkait dengan kebiasaan belajar mereka di rumah masing-masing. Penilaian dari teman sebaya juga diperlukan dalam analisis faktor kegagalan belajar. Sebagai upaya lanjut yang mungkin agak kontradiktif adalah penggunaan CCTV di dalam kelas yang memungkinkan terpantaunya kegiatan belajar mengajar di kelas sehingga kecenderungan saling menyalahkan dapat dieliminasi.RINGKASAN ISIPendahuluanDari berbagai penelitian terungkap bahwa hasil belajar IPA siswa SMP dan SMA di Portugis sangat rendah dan bahkan terendah dari 40 negara yang tergabung dalam PISA (Programme for International Student Assessment). Keadaan tersebut cenderung tidak berubah bahkan setelah reformasi pendidikan di negara itu. Prestasi IPA yang rendah menjadi barometer kegagalan akademik di Portugis dengan pembuktian bahwa negara tersebut tertinggi angka putus sekolahnya dari 26 negara.
![Asimilasi Asimilasi](/uploads/1/2/5/4/125460229/506494556.jpg)
Untuk kelompok usia 18 – 24; 45% putus sekolah sebelum kelas XII dan 2.5% di antaranya putus sekolah sebelum tamat SMP di tahun 2001. Sebelum tahun 2003, angka putus sekolah kelas VI – IX mencapai 33% dan di SMA bahkan jauh lebih tinggi. Dari data yang terangkum, hanya 20% dari populasi usia produktif di Portugis yang menamatkan pendidikannya di SMA. Selain itu, hasil tes IPA untuk kelompok usia 15-tahun di Portugis, Portugis selatan menempati posisi terendah dengan peringkat terendah di kelas X.Sistem pendidikan di Portugis memberlakukan pemilihan jurusan sejak kelas X di SMA dengan pilihan IPA, Humaniora, Sosial, dan Teknik. Khusus untuk jurusan IPA, siswa wajib mengikuti pelajaran Ilmu Fisika, Kimia, Matematika, Biologi, Geologi, dan praktikum Fisika, Kimia, Biologi, dan Geologi. Hasil belajar untuk kelas X – XII juga rendah terutama untuk Fisika, Kimia, dan Matematika. Alasan pemilihan kelas X sebagai target penelitian didasari oleh asumsi bahwa motivasi berprestasi mereka masih tinggi dengan pilihan mereka pada jurusan IPA yang tergolong sebagai kelompok siswa elit di sekolah.Rendahnya hasil belajar IPA terutama di kelas X memunculkan berbagai pertanyaan bagi para praktisi IPA, kepala sekolah, kepala dinas pendidikan, dan pemerintah sebagai penentu kebijakan.
Mengapa prestasi IPA rendah? Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan rendahnya prestasi siswa menurut persepsi mereka? Apakah terdapat korelasi antara faktor-faktor yang disebutkan oleh siswa dengan variabel lainnya? Apa implikasi temuan terhadap pengajaran IPA, kurikulum, dan terhadap manajemen sekolah?Kajian literatur menjawab rangkaian pertanyaan terkait aspek psikososial, manajemen, guru, peran dan keterlibatan orang tua; persepsi siswa tentang kebermaknaan, tantangan, pilihan dan ketertarikan terhadap kegiatan kelas juga diasumsikan berpengaruh terhadap motivasi dan belajar; dan faktor terpenting dalam peningkatan prestasi IPA siswa adalah guru.Salah satu penelitian di perguruan tinggi Eropa menemukan pengaruh peran motivasi terhadap keberhasilan belajar matematika dalam kajian persepsi. Dosen dan mahasiswa sepakat tentang pentingnya motivasi namun mereka berbeda pandangan dalam hal pentingnya pembelajaran aktif, pembantuan, dan usaha mahasiswa. Dosen menekankan pada perbedaan karakter mahasiswa yang dapat dikontrol, sedangkan mahasiswa menyalahkan desain pengajaran dan mutu pengajaran.Di Amerika, dalam penelitian analisis kebutuhan belajar terungkap kebutuhan siswa untuk dihargai, tanggung jawab personal, dan pembelajaran individual. Mereka membutuhkan guru yang peduli dan pembelajaran yang aktif.
Mereka juga membutuhkan rasa aman, rasa dibutuhkan oleh pihak sekolah dan mengatur sendiri mode belajarnya. Penelitian lain terkait dengan solusi peningkatan keberhasilan akademik siswa Afro-Amerika yang terkait dengan persiapan awal, pengaruh posistif sebaya, pujian dan motivasi guru serta orang tua untuk tugas-tugas sekolah dan peningkatan prestasi.
Keberhasilan juga ditemukan terkait dengan cita-cita mereka. Penelitian serupa juga menemukan prediktor peningkatan motivasi dan prestasi bergantung pada persepsi siswa terhadap perilaku guru yang mampu mendorong perkembangan otonomi siswa, keterlibatan orangtua, kompetensi, dan penghargaan diri. Variabel usia dan jenis kelamin lebih mengarah pada sikap yang berpengaruh terhadap prestasi.